Breaking News

Pengembalian Dana dalam Proses Hukum Tipikor

Opini Hukum
Foto : Sumber Pribadi

Pengembalian Dana dalam Proses Hukum Tipikor 

Oleh: Abdul Ghofur, S.H.
          (Advokat/Pengacara/Praktisi Hukum) 

Belakangan ini ramai tersiar berita tentang oknum perangkat di desa memotong dana bantuan sosial (bansos) sebesar lebih kurang 50% (lima puluh persen) dari 100% (seratus persen) nilai yang seharusnya diterima Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Pemotongan sebesar itu dilakukan tanpa musyawarah dengan Pemerintah Desa setempat dan tanpa ada pemufakatan dengan KPM. Namun belakangan diketahui permasalahan ini telah selesai karena dimediasikan. Oknum perangkat desa tersebut telah mengembalikan dana 50% yang dipotong ke KPM yang berhak, dan secara umum ini dianggap selesai. 


Atas fakta ini Penulis mendapat banyak pertanyaan dari masyarakat, antara lain: Apakah dana bansos termasuk keuangan negara atau masyarakat? Apakah tindakan oknum perangkat desa tersebut termasuk tindak pidana korupsi? Apakah setelah uang 50% dikembalikan kepada KPM oknum perangkat desa masih dapat diproses secara hukum yang berlaku? 


Untuk menjawab pertanyaan di atas, Penulis mencoba melakukan analisa menggunakan beberapa variabel undang-undang yang relevan dengan fakta hukum di atas, antara lain: Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 


Sebagai dicsclaimer perlu Penulis sampaikan bahwa tulisan ini disusun sebagai opini hukum untuk memberikan jawaban sekaligus pandangan objektif berdasarkan analisis aturan dan prinsip hukum yang berlaku, tanpa bermaksud memihak, memprovokasi, atau menimbulkan intimidasi terhadap pihak manapun.


Pertama, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Menurut UU ini, bantuan sosial (dana bansos) termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara. Prinsip-prinsip dalam pengelolaan keuangan negara diatur jelas dalam undang-undang ini, dan tindakan yang merugikan dalam pengelolaan dana tersebut dapat dianggap merugikan keuangan negara.


Kedua, Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini menekankan pengelolaan desa secara partisipatif, transparan, dan akuntabel. 


Korelasi antara Undang-undang No. 17 Tahun 2003 dan UU No. 6 Tahun 2014 ada pada persamaan prinsip. Prinsip utamanya untuk menciptakan pengelolaan yang bertanggung jawab, transparan, akuntabilitas, efisiensi, efektivitas, dan keadilan. Prinsip-prinsip ini harus diimplementasikan secara konsisten untuk mencegah penyimpangan, seperti korupsi, dan memastikan kesejahteraan masyarakat.


Ketiga, Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor ini menyatakan:


"Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar." 


Pasal selanjutnya (Pasal 3 UU Tipikor) dinyatakan :


"Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara..."


Dari uraian di atas Penulis berpendapat bahwa tindakan oknum perangkat desa sebagaimana yang talah Penulis kemukakan di paragraf awal dapat disebut sebagai perbuatan melawan hukum, karena melanggar prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara dan tata kelola desa sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 dan Undang-Undang No. 6 Tahun 2014.


Lebih dari itu, perbuatan oknum tersebut di atas masuk ke dalam tindak pidana sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Tipikor, karena sebagai pihak yang memiliki kewenangan administratif di tingkat desa telah menyalahgunakan posisinya melakukan pemotongan dana bansos tanpa dasar hukum yang sah dan berpotensi memperkaya diri sendiri atau orang lain. 


Tentang telah mengembalikan dana 50% yang dipotong kepada KPM yang berhak, Penulis berpendapat bahwa oknum tersebut masih dapat diproses sesuai hukum yang berlaku.


Pengembalian dana sebagai upaya untuk memulihkan kerugian negara akibat Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) disebut dengan istilah 'restitusi dana' . Dalam sistem hukum pidana Indonesia, restitusi dana bersifat tambahan (accessory) terhadap hukuman pidana utama, seperti penjara atau denda. Restitusi dana dalam Tipikor tidak dapat menghapus tuntutan pidana atau pun menghentikan proses hukum. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 4 UU Tipikor yang berbunyi:


"Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara oleh pelaku tindak pidana korupsi tidak menghapuskan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3." Artinya, meskipun pelaku (dalam hal ini oknum perangkat desa) mengembalikan kerugian negara (melalui restitusi atau mekanisme lain), penegakan hukum tetap dapat dilakukan dan pelaku tetap dapat dijerat hukuman pidana."


Mengapa restitusi dana dalam Tipikor tidak menghapus tuntutan pidana? Dari literatur yang Penulis dapatkan, setidaknya ada dua prinsip hukum yang mendasari.


Pertama, prinsip kepastian hukum dan efek jera. Korupsi adalah kejahatan serius (extraordinary crime) yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Jika restitusi dapat menghapus tuntutan pidana, maka pelaku korupsi hanya akan mengembalikan uang setelah tertangkap tanpa konsekuensi pidana yang jelas, sehingga tidak memberikan efek jera.


Kedua, tanggung jawab pidana bersifat pribadi. Secara sempit, Tipikor adalah kejahatan yang dilakukan dengan sengaja (mens rea) dan merupakan perbuatan melawan hukum (actus reus). Karena itu, tanggung jawab pidana tetap melekat pada pelaku meskipun kerugian negara sudah dikembalikan.


Patut diingat, Tipikor termasuk dalam delik biasa, bukan delik aduan. Hal ini berarti bahwa Tipikor dapat diproses secara hukum tanpa memerlukan pengaduan atau laporan dari pihak tertentu. Jika ditemukan indikasi adanya tindak pidana korupsi, aparat penegak hukum (misalnya, polisi, kejaksaan, atau KPK) dapat langsung melakukan penyelidikan dan penyidikan. Di sisi lain, berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa setiap orang, organisasi masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum dan atau komisi dengan perkara tindak pidana korupsi.


Untuk mengantisipasi timbulnya permasalahan serupa (penyalahgunaan dana bansos) di masa depan, Penulis menyarankan pemerintah dan APH (Aparat Penegak Hukum) lebih meningkatkan pengawasan pengelolaan dana bansos dengan melibatkan masyarakat secara langsung. Berikan edukasi kepada perangkat desa dan masyarakat tentang hak dan kewajiban terkait dana publik. Jika kerugian yang terjadi signifikan, pemerintah, APH dan masyarakat dapat memastikan kasus ini diproses secara pidana untuk memberikan efek jera.



0 Komentar

© Copyright 2022 - Silogisnews.com