Pemagaran Laut: Antara Kepentingan Ekonomi dan Pelanggaran Konstitusi
Penulis: Irwansyah, S.H. (Advokat/pengacara/Praktisi Hukum)
Belakangan ini, masyatakat dihebohkan dengan polemik penemuan pagar bambu ‘misterius’ berdiri sepanjang lebih kurang 30.16 kilometer di pesisir (wilayah laut) Kabupaten Tangerang, Banten. Pagar-pagar bambu itu diakui menghalangi akses nelayan mencari ikan di laut. Tak ayal, beberapa nelayan setempat mengeluhkan peningkatan biaya operasional dan berkurangnya hasil tangkapan ikan yang berpengaruh negatif bagi pendapatan perekonomian (kesejahteraan nelayan). Ironinya, pagar-pagar bambu ini 'misterius' (masih tidak diketahui siapa pemiliknya, siapa pelakunya, berasal dari mana, dimaksudkan untuk apa). Meskipun akhir-akhir ini dikabarkan sudah dalam penanganan pemerintah (sebagai sebuah tindakan yang patut diapresiasi,) namun polemik ini terus bergulir meluas di masyarakat.
Polemik pagar bambu 'misterius' ini mengingatkan Penulis pada konsep "privatisasi laut" yang mencuat di sekitar abad ke-20. Boleh dikata, hampir seluruh negara mengadopsi konsep ini, termasuk Indonesia. Konsep ini berasal dari hasil evolusi pemikiran yang melibatkan ekonom, pemerintah, dan korporasi besar. Tujuan utama dari konsep ini antara lain efisiensi pengelolaan sumber daya, peningkatan pendapatan dan investasi, pemberdayaan ekonomi lokal, pelestarian dan keberlanjutan sumber daya laut, dan mengurangi beban pemerintah dalam pengelolaan dan pengawasan langsung terhadap sumber daya laut. Pada kenyataannya, konsep ini menimbulkan kritik di masyarakat khususnya masyarakat nelayan kecil, bukan saja karena kehilangan ruang kehidupannya (secara khusus), tapi juga menjadi pemicu timbulnya konflik sosial (secara umum), bahkan tidak sedikit ditemukan pelanggaran hukum terkait pemanfaatan ruang laut.
Menyelisik apa yang terdeskripsikan dalam dua paragraf di atas, Penulis berpandangan bahwa problematika yang dihadapi masyarakat nelayan dari waktu ke waktu menunjukkan pola yang berulang, mulai dari ketimpangan akses terhadap sumber daya laut, kerusakan lingkungan, bahkan eksploitasi manusia. Oleh karenanya, dirasa penting mengetahui bagaimana implikasi konsep privatisasi laut terhadap pengelolaan sumber daya alam dan wilayah pesisir? Bagaimana konstitusi melindungi hak-hak warga negaranya (dalam hal ini masyarakat pesisir dan nelayan)? Siapa yang bertanggungjawab secara hukum atas perlindungan, kesejahteraan dan pemberdayaan ekonomi lokal, pelestarian dan keberlanjutan sumber daya laut kita?
Terlebih dulu perlu digarisbawahi, opini hukum ini disusun untuk memberikan pandangan objektif tentang ruang laut (mencakup semua wilayah dan elemen yang berada di perairan laut beserta sumber daya yang terkandung di dalamnya) menggunakan analisis aturan dan instrumen hukum yang relevan, sebagai berikut:
Pasal 3 ayat (3) UUD 1945, ditegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat;
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, yang menyatakan setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat merusak atau menghambat akses publik ke laut;
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menyebutkan masyarakat memiliki hak atas akses ke wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk laut, juga Pasal 27 (undang-undang sama) yang menyatakan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir harus memperhatikan hak masyarakat adat, nelayan tradisional, dan kepentingan publik;
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Cara Perizinan Berusaha di Bidang Kelautan dan Perikanan, yang menentukan setiap kegiatan yang mengubah fungsi ekosistem laut harus mendapatkan izin resmi dari pemerintah;
Pasal 22 dan Pasal 69 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur setiap rencana usaha/kegiatan yang berdampak pada lingkungan wajib memiliki izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), serta tentang larangan merusak lingkungan atau melakukan tindakan yang mengganggu ekosistem.
Dari ketentuan peraturan dan perundang-undangan di atas, Penulis berpendapat bahwa praktik pemagaran bambu di laut Kabupaten Tangerang, Banten yang saat ini masih menjadi polemik di masyarakat, dapat dikatakan sebagai praktik inkonstitusional dan ilegal. Inkonstirusinal (bertentangan dengan UUD 45): Jika terdapat unsur 'privatisasi laut' (tidak dimaksudkan untuk kemakmuran nasional (termasuk masyarakat pesisir dan nelayan). Ilegal: Jika dilakukan tanpa dasar yang jelas dan izin resmi; merusak, menghambat atau menghalangi jalur (akses) masyarakat (khususnya nelayan) ke laut; tidak memperhatikan hak masyarakat adat, nelayan tradisional, dan kepentingan publik (pada umumnya); berdampak mengubah, merusak lingkungan/ruang dan mengganggu fungsi ekosistem laut.
Terhadap praktik inkonstitusional dan ilegal di ruang laut, pemerintah dan institusi negara, termasuk Aparat Penegak Hukum (APH), perlu mengambil tindakan-tindakan yang tidak sebatas pada evaluasi kebijakan-kebijakan/aturan-aturan yang berkaitan, tapi juga melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penindakan tegas secara hukum yang berlaku demi melindungi hak dan kepentingan masyarakat dan menjaga kelestarian ruang laut. Dengan kata lain, pemerintah dan institusi negara punya tanggungjawab administratif, preventif (pencegahan), refresif (penindakan), dan restoratif (pemulihan) untuk memastikan kegiatan-kegiatan atau pun praktik-praktik di ruang laut yang inkonstitusional dan ilegal tidak terulang lagi.
Apabila pemerintah atau pun institusi negara dirasa lalai dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, maka masyarakat dapat menuntut pertanggungjawaban pemerintah atau pun institusi negara hukum secara administrasi, perdata, maupun pidana (bersifat pribadi).
Tuntutan terhadap pertanggungjawaban pemerintah oleh masyarakat dapat dilakukan dengan beberapa mekanisme, di antaranya: Pengaduan ke Ombudsman RI, jika ada dugaan maladministrasi seperti: Tidak adanya pengawasan, penerbitan izin yang melanggar hukum; Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit); dan Gugatan oleh organisasi lingkungan hidup ke pengadilan negeri.
Sedangkan, bentuk pertanggungjawaban yang dapat diberikan kepada pihak-pihak (pribadi atau pun korporasi) yang berdasarkan penyelidikan dan penyidikan terbukti melakukan praktik inkonstitusional dan ilegal di ruang laut adalah berupa sanksi pidana, setidak-tidaknya sesuai ketentuan:
Pasal 73 dan 74 UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dengan ancaman pidana penjara hingga 10 tahun, dan/atau denda hingga Rp10 miliar. Jika pelanggaran dilakukan oleh korporasi, maka pengurus atau pimpinan perusahaan dapat dikenai pidana ini dengan sanksi tambahan berupa pencabutan izin usaha;
Pasal 73 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo. UU No. 1 Tahun 2014 dengan ancaman pidana penjara hingga 5 tahun, dan/atau denda hingga Rp2 miliar;
Pasal 98 dan 99 UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan ancaman pidana penjara 1 hingga 10 tahun, dan/atau denda Rp1 miliar hingga Rp10 miliar.
Di pragraf akhir pembahasan ini Penulis berharap kesediaan pemerintah dan institusi negara untuk tidak berhenti mendengar dan memahami kebutuhan nelayan. Komitmen dan peran masyarakat (nelayan khususnya) untuk berkontribusi menjaga lingkungan juga perlu diimplementasikan sebaik-baiknya dengan mengunakan saluran aspirasi yang ada, mendorong transparansi dan akuntabilitas, bersikap solid, melakukan semua tindakan secara damai, terorganisir, sesuai dengan hukum, sehingga sinergi yang terbangun antara pemerintah dengan masyarakat menciptakan keseimbangan antara 'legal policy' (kebijakan) keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan.
0 Komentar